Selasa, 04 Oktober 2016

Dibalik Banjir Bandang Garut


Semua mata tertuju pada bencana banjir bandang yang menerjang tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (20/09/2016). Bencana banjir bandang terbesar dan terparah yang menelan 26 korban jiwa, 23 hilang, serta merusak sekitar 594 bangunan ini dipicu oleh hujan deras yang mengguyur Garut  selama 4 jam, mulai dari pukul 19.00 WIB malam, Selasa (20/09/2016). Debit air yang terlampau banyak
menyebabkan Sungai Cimanuk dan Sungai Cikamuri meluap, arus air yang deras menerjang masuk ke dalam rumah warga. Pada tengah malam, ketinggian air telah mencapai atap rumah warga. Banjir mulai surut esok harinya, Rabu (21/09/2016) dini hari.

Kejadian yang sedang disorot media ini, menarik perhatian beberapa ahli untuk meneliti penyebab terjadinya banjir bandang yang begitu dahsyat di Garut. Diketahui berdasarkan citra satelit, terlihat kawasan Gunung Cikurai, Guntur dan Darajat berwarna merah atau sudah berkurang drastis luasan kawasan hutan lindungnya. Berdasarkan data yang dihimpun Mongabay, kondisi hulu untuk Daerah Resapan Sungai (DAS) Cimanuk terdapat kawasan resapan air yang telah banyak dilakukan alih fungsi lahan di Bayombong, Cikajang dan Pasir wangi. Ditambah maraknya penebangan hutan di wilayah Gunung Guntur, Papandayan, Darajat dan Cikuray. Kondisi tersebut memicu peningkatan lahan kritis mencapai 50 ribu hektar. Eksploitasi yang terjadi di kawasan konservasi yang dilindungi di Garut ini menjadi penyebab utama dalam terjadinya bencana alam banjir bandang Garut.

Sekali lagi, kelalaian masyarakatlah yang telah menjadi dalang di balik sebuah bencana alam mengerikan. Demi memenuhi keinginan dan ketamakan, banyak korban jiwa yang berjatuhan. Saat ini banyak korban selamat yang kesulitan. Banyak korban yang sedih kehilangan keluarga, rumah, harta benda, bahkan sekolah. Mereka hanya bisa menunggu di pengungsian, hingga mereka dapat memperoleh kebutuhan pokok mereka kembali dari bantuan pemerintah.

Namun, tahukah kamu? Di balik kejadian besar ini, banyak hal yang dapat dipelajari oleh korban, bahkan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat yang menyaksikan dapat belajar bahwa ketamakan dapat menyebabkan musibah, untuk orang lain dan diri sendiri. Sebagai manusia, memang sudah sifatnya bahwa manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah di dapatkannya. Semakin tinggi penghasilan, maka tidak jarang lagi akan terbawa pada gaya hidup yang bertambah tinggi pula. Akibatnya berapapun penghasilan yang di dapatkan, tak akan terasa cukup dan manusia akan menjadi makin tamak, bahkan tak jarang yang menghalalkan berbagai cara tanpa berpikir dampak yang akan terjadi.



Di samping itu, banyak masyarakat yang tergerak hatinya untuk  memberi bantuan kepada korban banjir bandang Garut. Masyarakat belajar untuk memberi dan membantu sesama. Bahkan banyak masyarakat yang tidak hanya memberi pakaian atau makanan untuk dapur umum di pengungsian, tetapi mereka menggalang dana supaya dapat digunakan korban untuk membangun kembali desanya, atau untuk membeli kebutuhan lainnya.

                                     
http://www.mongabay.co.id/2016/09/23/memprihatinkan-ternyata-ini-penyebab-banjir-bandang-garut/











Tidak hanya masyarakat yang menyaksikan, tetapi korbanlah yang paling banyak mendapat pelajaran dari musibah ini. Mereka belajar untuk tidak serakah, menolong sesama, dan yang paling utama mereka belajar untuk lebih menghaigai, menyayangi dan mensyukuri apa yang mereka sudah miliki. Banyak manusia yang tidak menyadari bahwa yang mereka miliki saat ini sangatlah berharga sampai mereka kehilangan.

Dibalik sebuah cobaan pasti ada hikmahnya. Dari sebuah musibah, terdapat banyak hal yang dapat menjadi sebuah pelajaran. Penyebab sebuah musibah diketahui bukan untuk menghukum dalangnya. Mengetauhi penyebab adalah untuk memperbaiki. Pengalaman adalah guru yang paling baik.



DAFTAR PUSTAKA :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar